Rabu, 31 Maret 2010

पी taqwa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Iman adalah percaya dan meyakini bahwa Allah SWT adalah tuhan semesta alam. Sedangkan taqwa adalah mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Masalah iman dan taqwa ini sangat menarik untuk dibicarakan, terutama dalam implementasi di kehidupan modern seperti saat ini. Semakin berkembangnya dunia saat ini selain berdampak positif, juga berdampak negatif.
Dalam kehidupan modern ini, iman dan taqwa sangat diperlukan untuk menguatkan landasan hidup bagi manusia. Misalnya, dalam hal pendidikan, pekerjaan, keluarga, masyarakat, pergaulan, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya saat ini banyak orang yang mengaku beriman tetapi mereka jarang sekali menerapkan iman dan ketaqwaan mereka dalam kehidupan. Sedangkan mereka sendiri mengaku sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah SWT.
Kehidupan modern telah membuat sebagian masyarakat lupa akan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang wajib beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Mereka sibuk mencari kepuasan dan kenikmatan duniawi. Mereka lebih mementingkan kebutuhan materi dibandingkan dengan kebutuhan rohani. Semua rela mereka korbankan hanya untuk memenuhi hawa nafsu mereka. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang iman, taqwa, dan problematika dalam kehidupan modern serta peranan iman dan taqwa dalam kehidupan modern.

1.2 TUJUAN
a. Mengetahui pengertian iman dan takwa
b. Mengetahui tanda-tanda orang mukmin
c. Mengetahui problematika iman dan taqwa dalam kehidupan modern
d. Mengetahui peran iman dan taqwa dalam menyelesaikan tantangan dunia modern


BAB II
PERMASALAHAN

Saat ini telah banyak timbul kekacauan-kekacauan di bumi ini. Hal ini disebabkan oleh semakin berkurangnya tingkat keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Allah SWT. Banyak sekali kejadian dan contoh-contoh akibat dari semakin menipisnya iman dan ketaqwaan itu. Dengan semakin berkembangnya zaman, banyak dampak positif yang dapat kita ambil tetapi cukup banyak pula dampak negatif yang ditimbulkan. Dampak-dampak negatif tersebut ada yang sudah kita sadari namun banyak pula yang tidak kita sadari.
Dampak-dampak negatif itu dapat terjadi karena landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupan dari manusia mulai goyah dan lama-kelamaan landasan itu akan mulai hancur. Bila hal itu terjadi, maka kehidupan manusia akan hancur. Manusia akan bertindak dengan hanya mengandalkan hawa nafsu tanpa melibatkan akal dan pikiran. Mereka akan bertindak semau mereka sendiri dan akan mengejar nikmat duniawi tanpa memperdulikan nilai-nilai dan norma-norma agama serta pendidikan.
Bila landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupan manusia sudah mulai goyah atau terbuai dengan perkembangan zaman, maka manusia akan mulai mengalami kehancuran. Hal ini bisa dicegah dengan selalu memupuk iman dan ketaqwaan dalam diri.





BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PENGERTIAN IMAN DAN TAKWA
A. Pengertian Iman
Kenapa yang pertama itu diajukan Pengertian Iman Secara Umum ? sebab istilah iman ini merupakan istilah kunci (strategis) didalam study Al-Qur'an. Jika istilah iman ini tidak terpecahkan maka tidak akan memahami semua istilah didalam Al-Qur'an. Dan jika istilah iman itu diartikan salah maka tidak ada jaminan yang lainnya itu akan benar. Kita akan membagi pembahasan ini sebagai berikut:
1. Arti Kata Iman.
2. Ruang Lingkup Iman
3. Nilai dan Harga Iman
4. Definisi Iman
5. Sejarah Iman.

1. Arti Kata Iman
Yang dimaksud Arti Kata adalah pemecahan bentuk kata menjadi bentuk kata yang lain atau hubungan satu bentuk kata dengan kata yang lain. Sehingga Arti Kata Iman adalah pemecahan bentuk kata Iman sebagai kata dasar menjadi berbagai bentuk kata yang lain. Sehingga kita akan menemukan di dalam Al-Qur'an kata-kata : aamana , yu minu , ii maanan, yang merupakan hasil pemecahan dari bentuk kata Iman. Terjemahan umum dari kata-kata tersebut adalah:
aamana = telah / sudah ber-iman.
yu minu = sedang / akan / lagi ber-iman.
iimanan = Iman
mu minu = yang ber-iman.
Didalam memberikan definisi tentang perkataan Iman ini menurut yang ada sama dengan Percaya atau menurut Arab sama dengan : 'aqdun bil qolbi faqath. Sedangkan Iman berdasarkan Al-Qur'an, seperti dijelaskan oleh hadits: “Al iimaanu 'aqdun bil qolbi wa ikraarun bil lisani wa 'amalu bil arkan”. Artinya : Iman adalah tanggapan hati (proses menanggapi) kemudian dinyatakan dalam lisan (proses pernyataan diri/sikap) dan menjelma kedalam seluruh laku perbuatan (proses pembuktian dalam hidup). Atau dengan kata lain Iman adalah tambatan hati yang menggema ke dalam seluruh ucapan dan laku perbuatan.
2. Ruang lingkup iman
Yang dimaksud Ruang Lingkup adalah batasan-batasan yang disentuh oleh arti perkataan. Seperti contoh sebidang kebun, ruang lingkup kebun berarti batasan-batasan yang disentuh oleh kebun itu sendiri, sebelah barat-timur-utara-selatan-nya dengan apa.
Berdasarkan hadits tersebut maka Ruang Lingkup Iman meliputi: 'aqdun bil qlbi = tanggapan hati, ikraarun bil lisani = pernyataan lisan,'amalun bil arkan = pembuktian dalam perbuatan. Dengan demikian maka ruang lingkup iman meliputi tiga aspek aktivitas hidup manusia, yaitu aspek penanggapan, aspek pernyataan dan aspek pembuktian. Dari aspek penanggapan dan pernyataan akan melahirkan atau membentuk satu Pandangan Hidup dan dari ketiga aspek akan membentuk Sikap Hidup. Jadi berdasar pada Hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Iman sama dengan Pandangan dan Sikap dalam perjalanan hidup atau Pandangan dan Sikap Hidup.
Perkataan Iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika kepadanya ditambahkan atau dihubungkan dengan perkataan yang lain. Dengan kata lain perkataan Iman belum bernilai kecuali bila digandeng dengan sesuatu yang lain. Jadi kita tidak tahu apa yang ditanggapi kemudian apa yang diikrarkan dan apa yang akan dibuktikan dalam amal perbuatan.
3. Nilai dan Harga Iman
Nilai adalah kemampuan sesuatu membikin sedemikian rupa, sedangkan harga adalah sejumlah pengorbanan untuk mendapatkan nilai. Nilai Iman adalah kemampuan isi Iman menghantarkan manusia membentuk satu tatanan budaya kehidupan yang tangguh. Harga Iman adalah sejumlah pengorbanan yang kita lakukan untuk mendapatkan Nilai Iman.
Seperti telah disinggung di atas bahwa perkataan Iman belum bernilai sebelum digandeng dengan perkataan yang lain. Iman akan bernilai setelah digandeng dengan satu ajaran, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 4 yang artinya: "(Yang disebut Muttaqin) yaitu yang hidup berpandangan dan bersikap dengan apa yang telah diturunkan menurut sunnah anda (Muhammad) yakni yang sama dengan apa yang telah diturunkan menurut sunnah Rasul-Rasul sebelum anda, dengan mana mereka meyakini tujuan terakhir (Hasanah di dunia dan hasanah di akhirat) dalam keadaan bagaimana pun".
Seperti berdasar hadits bahwa Iman adalah Pandangan dan Sikap Hidup, maka yu minuuna bima ungjila ilaika jangan lagi diartikan mereka yang percaya pada penurunan Al Qur'an , tetapi mereka yang berpandangan dan bersikap hidup dengan sesuatu yakni Al-Qur'an yang telah diturunkan menjadi menurut sunnah Rasul (Muhammad) atau Al Qur'an menurut sunnah Rasul . Jadi disini nilai Iman ditentukan oleh ajaran Allah yakni Al-Qur'an menurut sunnah Rasul dan Iman yang demikian disebut Iman yang bernilai Haq. Maka konsekwensinya: wa bil akhirati hum yu qinun akan mencapai satu kesudahan terakhir hasanah fid dunya wa hasanah fil akhirat.
Sesungguhnya nilai Iman itu tidak hanya ditentukan oleh Al-Qur'an menurut sunnah Rasul saja, tetapi bisa juga oleh ajaran lain seperti diberitakan dalam surat An-Kabut ayat 52 yang artinya: "Tegaskan (hai Muhamad/Orang Beriman) cukuplah Allah (dengan pembuktian Al Qur'an ms rasul) ini menjadi pemberi kesaksian diantara saya (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul ) dan kalian (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan Dzulumat menurut Sunnah Syayatin). (Allah) yang meng-Ilmu-i segala kehidupan organis - biologis dan kehidupan sosial budaya. Dan mereka hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Bathil, yaitu mereka yang bersikap negatif terhadap ajaran Allah (Al-Qur'an menurut sunnah Rasul-Nya) niscaya mereka yang demikian adalah yang hidup rugi (perusak kehidupan dimana saja pun)".
Jadi nilai Iman disini ditentukan oleh ajaran Bathil dan Iman yang demikian dikatakan Iman yang bernilai Bathil. Maka konsekwensinya ula ika humul khaasiruun niscaya mereka yang demikian adalah yang hidup rugi/perusak kehidupan dimana saja pun.Apa itu ajaran Bathil? Maka berdasarkan surat An-Nisa ayat 51 yang artinya; "Tidakkah kalian melihat mereka yang telah mendapat nasib kehidupan sial dari para Ahli Kitab, mereka hidup berpandangan dan bersikap menurut ajaran Idealisme (Jibti) dan Naturalisme (Thagut) dan mereka berkata kepada yang bersikap negative terhadap ajaran Allah ms Rasul (hidup atas pilihan Dzulumat ms Syayatin) bahwa: dibanding dengan mereka yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya, mereka memiliki system kehidupan yang lebih ilmiah adanya".
Ajaran Bathil itu terdiri dari ajaran Jibti (Idealisme) dan Thagut (Naturalisme). Pembuktian siapa mereka penganut ajaran Bathil sebenarnya perhatikan Surat Al-Bayyinah ayat 1 yang artinya: "Orang-orang kafir (yg bersikap negative terhadap ajaran Allah ms Rasul) yang terdiri dari para Ahli Kitab dan musyrikin (yang hidup dualisme dengan Dzulumat ms Syayatin) tidak akan meninggalkan (ajaran Dzulumat ms Syayatin), sebelum mereka mendapat pembuktian ilmiah (dari Allah ms Rasul-Nya)".
Jadi berdasar ayat di atas bahwa Jibti = Ahlul Kitab sedangkan Thagut = Musyrikin dan mereka semua adalah golongan Kafir.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an memberikan nilai kepada perkataan Iman menjadi dua golongan yakni Iman Haq dan Iman Bathil. Dimana Iman Haq adalah Pandangan dan Sikap hidup dengan ajaran Al Qur'an menurut sunnah Rasul atau dengan Ajaran Nur sedangkan Iman Bathil adalah Pandangan dan Sikap hidup dengan ajaran Dzulumat menurut sunnah Syayatin atau Ajaran Dzulumat.
4. Definisi Iman.
Definisi Iman terbagi menjadi :
a. Definisi Iman Secara Umum, yaitu Pandangan dan Sikap Hidup baik dengan ajaran Allah dan atau selainnya.
b. Definisi Iman Secara Khusus :
1. Iman Haq, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Al Qur'an menurut sunnah Rasul pelakunya disebut Mu'min.
2. Iman Bathil, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Dzulumat menurut sunnah Syayatin , pelakunya disebut Kafir.
Begitulah definisi Iman berdasarkan Al-Qur'an ms Rasul, yang oleh Nabi Muhamad saw telah diajarkan pada permulaan abad ke 7 Masehi. Dan tanggapan abad ke 20 sekarang ini bahwa Iman ialah Percaya, menjadi bukti bawa `iman sama denga percaya' adalah satu produk sejarah oleh tangan-tangan kotor manusia.

B. Pengertian Taqwa
At-taqwa maknanya al-hadzr yaitu waspada. Kalau dikatakan anda bertakwa kepada sesuatu, maka artinya waspada dan berhati-hati terhadapnya.
Pada prinsipnya ketakwaan seorang adalah apabila ia menjadikan suatu pelindung antara dirinya dengan apa yang ia takuti. Maka ketakwaan seorang hamba kepada Rabbnya adalah apabila ia menjadikan antara dirinya dan apa yang ia takuti dari Rabb (berupa kemarahan, siksa, murka) suatu penjagaan/pelindung darinya. Yaitu dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Maka tampak jelas, bahwa hakikat takwa adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya.
Sedangkan takwa secara lebih lengkapnya adalah, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan dan syubhat (perkara yang samar), selanjutnya melaksanakan perkara-perkara sunnah (mandub), serta menjauhi perkara-perkara yang makruh(dibenci). Shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 102, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya.” Beliau mengatakan, “Hendaklah Dia (Allah) ditaati dan tidak dimaksiati, diingat serta tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diing-kari.” (ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 9/92 dan al-Mustadrak 2/294).
Adapun firman Allah surat at-Taghabun ayat 16, Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”, menurut Imam al-Qurthubi adalah penjelasan dari firman Allah dalam surat Ali Imran 102 di atas. Jadi maknanya adalah, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa menurut kesanggupanmu.” Pendapat ini lebih tepat daripada yang mengatakan sebagai nasakh (penghapusan). Karena nasakh hanya dapat dilakukan apabila (dua masalah) sudah tidak mungkin lagi dikompromikan. Jika pengkompromian masih dapat dilakukan, maka itulah yang lebih utama.” (Al-Jami’ liahkamil Qur’an, al-Qurthubi 4/166).
Kata takwa juga sering digunakan untuk istilah menjaga diri atau menjauhi hal-hal yang diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ketika ditanya tentang takwa, beliau mengata-kan, “Apakah kamu pernah melewati jalanan yang berduri?” Si penanya menjawab, ”Ya”. Beliau balik bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika aku melihat duri, maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku tahan langkah”. Maka berkata Abu Hurairah, ”Seperti itulah takwa.”
Orang-orang yang mengusahkan taqwa sehingga bertaqwa, di waktu itu, mereka akan mendapat pemeliharaan dan pertolongan Tuhan. Ini telah dijanjikan Tuhan dalam Al-Quran. Banyak ayat-ayat menerangkannya dan di antaranya adalah:
“Dan Allah akan menjadi pembela kepada orang-orang bertaqwa” (Al-Jasiyah:19)
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dipermudahkan urusannya” (At-Thalaq:3)
“Bertaqwalah kamu kepada Allah dan Allah akan ajar (beri ilmu) kamu” (Al-Baqarah :282)

3.2 TANDA-TANDA ORANG MUKMIN
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Akan datang suatu zaman dimana orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mukmin.”
Rasulullah dalam kesempatan lain juga bersabda :, “Nanti akan datang suatu zaman dimana seorang muazin melantunkan azan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi diantara mereka tidak ada yang mukmin” (Kanzul Ummal, hadits ke 3110).
Sabda-sabda Rasulullah SAW yang mulia diatas , jelas menarik perhatian kita. Akan muncul pertanyaan dibenak kita, “ Mengapa shalat yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai tanda seorang mukmin? Dan mengapa orang yang melakukan shalat di masjid itu tidak dihitung sebagai mukmin?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menunjukkan tanda-tanda seorang mukmin.
Shalat bukanlah tanda bahwa seseorang yang melakukannya dapat disebut sebagai mukmin, tetapi ia merupakan tanda bahwa yang melakukannya adalah seorang muslim. Oleh karena itu, tanda seorang mukmin ialah selain shalat masih ditambah lagi dengan syarat yang lainnya.
Karakteristik seorang mukmin kalau kita lihat sebagaimana yang dimuat dalam Shahih Bukhari. Rasulullah SAW yang mulia bersabda :
• Pertama, barang siapa yang beriman (mukmin) kepada Allah swt dan hari akhir, hendaknya dia menghormati tetangganya.
• Kedua, barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, hendaknya dia senang menyambungkan tali persaudaraan.
• Ketiga, barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, hendaknya dia berbicara dengan benar; dan kalau tidak mampu berbicara dengan benar, maka lebih baik diam.
• Keempat, tidak dianggap sebagai orang beriman (mukmin) apabila seseorang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ada tetangganya yang sedang kelaparan.
Dengan hanya mengambil empat macam hadits diatas, kita bisa melihat bahwa tanda seorang mukmin itu terlihat dari tanggung jawab di tengah-tengah masyarakatnya. Kalau dia menghormati tetangganya, menyambungkan tali persaudaraan, berbicara dengan benar, dan memiliki kepedulian atas penderitaan yang dialami saudara-saudara di sekitarnya, maka barulah dia boleh dikatakan sebagai seorang Mukmin .
Tanda-tanda orang-orang yang merealisasikan tauhid diantaranya mereka benar-benar takut kepada Rabb mereka, orang-orang yang benar-benar takut kepada Rabb mereka adalah orang-orang yang beramal shaleh, berbuat ihsan dan disertai rasa takut kepada Allah, adapun orang yang takut kepada Allah dan berputus asa tanpa berbuat amal yang shaleh dan tidak pula berbuat yang ihsan maka ini adalah takut yang tercela, demikian pula orang yang merasa aman dari Allah dan berbuat berbagai keburukan dan ini juga kondisi yang tercela, maka seorang yang benar-benar takut kepada Allah adalah seorang yang beramal shaleh, berbuat ihsan dan disertai rasa takut kepada Allah.
Berkata Al-Hasan Al-Basri: Seorang mukmin adalah orang yang mengumpulkan antara berbuat baik dengan rasa takut kepada Allah sedangkan seorang yang munafik adalah seorang yang mengumpulkan keburukan-keburukan dan rasa aman dari Allah.
Tanda-tanda orang-orang yang merealisasikan tauhid berikutnya adalah orang-orang yang mereka beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Ayat-ayat Allah ada dua, yaitu Al-Kauniyah (makhluk-makhluk ciptaan Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya) dan Asy-Syar’iyyah (wahyu dari Allah yang berupa syari’at-Nya). Jadi orang-orang bertauhid beriman kepada Allah dan merealisasikan tauhidnya, beriman baik dengan ayat-ayat Allah Al-Kauniyah maupun ayat-ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Mengimani ayat-ayat Allah Al-Kauniyah maksudnya yaitu mengimani tentang Rububiyah Allah sedangkan mengimani ayat Allah Asy-Syar’iyyah adalah mendengarkannya, mengamalkannya dan mendakwahkannya.
Tanda-tanda orang-orang yang merealisasikan tauhid berikutnya adalah mereka terlepas dari segala perbuatan syirik, baik syirik yang besar maupun syirik yang kecil dengan segala jenisnya.

3.3 PROBLEMATIKA IMAN DAN TAQWA DALAM KEHIDUPAN MODERN
Dalam era globalisasi, masyarakat Indonesia tengah berhadapan dengan peradaban dan kebudayaan modern yang cepat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat telah menciptakan perubahan sosial yang besar. Berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan material, fakta menunjukkan bahwa paham pragmatisme,kapitalisme, materialisme dan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah meredisposisi manusia melaksanakan peran yang bertitik tolak pada kepentingan manusia. Peran manusia yang fungsional ini telah menjadikannya berpandangan humanis, yaitu menempatkan manusia sebagai penentu kebenaran dan menolak konsepsi kemahakuasaan dan keilahiyahan. Manusia sebagai sentral penetapan hukum bagi kehidupan.
Akibatnya nampak ketika masyarakat Indonesia mengalami krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan dan berbagai bentuk patologi sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan baru telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa semua ini terjadi? Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan karena perilaku manusia sendiri.
Ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa dan dosa berakibat turunnya azab Allah Swt. Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiatan dilakukan.
Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang secara sengaja tidak digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Agama telah diamputasi dan dikebiri; dimasukkan dalam satu kotak tersendiri dan kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan, sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai (kebenaran) melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat- orang mengacu.
Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamakan kedudukan semua agama. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan bahkan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai pengetahuan, ilmu, dan teknologi (PITEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (PITEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

2.4 PERAN IMAN DAN TAQWA DALAM MENYELESAIKAN TANTANGAN DUNIA MODERN
Problematika – problematika kehidupan modern bukan berarti akan menimbulkan sifat pesimis dalam mengaruhi kehidupan modern, namun seharusnya hal ini menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan bekal keimanan dan ketaqwaan mereka.
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak diantara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. an-Nisa/4:78 yang artinya, “ Di mana saja kamu berada, kematiankan mendapatkan kamu kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”.
3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, arena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan dan bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6 yang artinya, “Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata”.
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Acapkali manusia dilanda resah dan dukacita, serta digoncang oleh keraguan dan kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d/13:28 yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah)”.
Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. an-Nahl/16:97 yang artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162 yang artinya, “Katakanlah:" Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
7. Iman memberi keberuntungan
Orang yang beriman selalu berjalan pada arah yang benar, karena Allah membimbing dan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:5 yang artinya, “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk zigot dalam rahim ibu. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
Jika karena terpengaruh tanggapan, baik indera maupun akal, terjadi perubahan fisiologis tubuh (keseimbangan terganggu), seperti takut, marah, putus asa, dan lemah, maka keadaan ini dapat dinormalisir kembali oleh iman. Oleh karena itu, orang-orang yang dikontrol oleh iman tidak akan mudah terkena penyakit modern, seperti darah tinggi, diabetes dan kanker.
Sebaliknya, jika seseorang jauh dari prinsip-prinsip iman, tidak mengacuhkan asas moral dan akhlak, merobek-robek nilai kemanusiaan dalam setiap perbuatannya, tidak pernah ingat Allah, maka orang yang seperti ini hidupnya akan diikuti oleh kepanikan dan ketakutan. Hal itu akan menyebabkan tingginya produksi adrenalin dan persenyawaan lainnya. Selanjutnya akan menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap biologi tubuh serta lapisan otak bagian atas. Hilangnya keseimbangan hormon dan kimiawi akan mengakibatkan terganggunya kelancaran proses metabolisme zat dalam tubuh manusia. Pada waktu itu timbullah gejala penyakit, rasa sedih, dan ketegangan psikologis, serta hidupnya selalu dibayangi oleh kematian.
Demikianlah pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan manusia, ia bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati, melainkan juga menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup.


BAB IV
KESIMPULAN

• Definisi Iman terbagi menjadi :
a. Definisi Iman Secara Umum, yaitu Pandangan dan Sikap Hidup baik dengan ajaran Allah dan atau selainnya.
b. Definisi Iman Secara Khusus :
1. Iman Haq, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Al Qur'an menurut sunnah Rasul pelakunya disebut Mu'min.
2. Iman Bathil, Pandangan dan Sikap Hidup dengan ajaran Dzulumat menurut sunnah Syayatin , pelakunya disebut Kafir.
• Takwa adalah, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan dan syubhat (perkara yang samar), selanjutnya melaksanakan perkara-perkara sunnah (mandub), serta menjauhi perkara-perkara yang makruh(dibenci).
• Tanda orang beriman salah satunya berdasarkan sabda Rasulullah SAW antara lain : Kalau dia menghormati tetangganya, menyambungkan tali persaudaraan, berbicara dengan benar, dan memiliki kepedulian atas penderitaan yang dialami saudara-saudara di sekitarnya.
• Sistem sekular dalam kehidupan modern melahirkan berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
• Manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia antara lain: melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda, menanamkan semangat berani menghadap maut, menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan, memberikan ketenteraman jiwa, mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah)”, melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen, memberi keberuntungan dan mencegah penyakit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar