Sabtu, 26 Maret 2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit tumbuhan adalah kondisi dimana sel dan jaringan tanaman tidak berfungsi secara normal, yang ditimbulkan karena gangguan secara terus menerus oleh agen patogenik (biotik) atau faktor lingkungan (abiotik) dan akan menghasilkan perkembangan gejala (Agrios, 1988). Penyakit tanaman terjadi bila salah satu atau beberapa fungsi fisiologis tumbuhan menjadi abnormal karena adanya gangguan patogen atau kondisi lingkungan tertentu (faktor abiotik). Sehingga suatu tanaman bisa dikatakan sehat apabila mampu melangsungkan fungsi fisiologisnya secara optimal sesuai kemampuan genetisnya.
Salah satu penyakit penting yang menyerang tanaman nilam adalah penyakit layu bakteri. Penyakit layu bakteri nilam dapat menimbulkan kematian nilam cukup besar, dan menurunkan produksi nilam dan kerugian hasil mencapai 60-80% pada tahun 1991 (Asman et al., 1993). Penyakit ini telah menyebar ke daerah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darusalam (NAD). Akhir-akhir ini penyakit layu bakteri nilam telah menyebar luas dan merupakan ancaman terhadap pertanaman nilam. Gejala penyakit berupa tanaman layu pada cabang-cabang tanpa suatu urutan yang teratur dan gejala lanjut berupa seluruh bagian tanaman layu atau mati dalam waktu singkat (Sitepu dan Asman, 1989).
Penyakit layu bakteri nilam disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit tanaman paling berbahaya yang tersebar luas di daerah tropika dan sub tropika (Hayward, 1984), dan banyak menyerang tanaman pertanian di antaranya tomat, kacang tanah, pisang, kentang, tembakau dan suku Solanaceae lainnya (Persley et al., 1985).
Pengendalian penyakit yang dilakukan adalah pemakaian mulsa jerami padi, ampas nilam, antibiotik, pemupukan dengan abu sekam, tetapi hasil dicapai masih kurang memuaskan (Asman, 1996). Penggunaan agens hayati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Di antara antagonis yang telah dikembangkan adalah Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp.


1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah penggunaan agen pengendali hayati Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. dapat efektif untuk mengendalikan bakteri Ralstonia solanacearum.?
2. Apakah penggunaan agen hayati Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. menguntungkan bagi lingkungan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penggunaan agen hayati Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. dapat efektif untuk mengendalikan bakteri Ralstonia solanacearum
2. Untuk mengetahui keuntungan dan kelebihan dari penggunaan agen hayati Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. dapat efektif untuk mengendalikan bakteri Ralstonia solanacearum
1.4 Manfaat
1. Untuk Masyarakat
• Supaya masyarakat mengetahui tentang manfaat dari Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. dapat efektif mengendalikan bakteri Ralstonia solanacearum dengan lebih ramah lingkungan daripada penggunaan fungisida yang berbahaya bagi lingkungan.
2. Untuk Mahasiswa
• Setelah membaca dan mengetahui makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat menerapkan agen pengendali hayati Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. Sebagai pengendali bakteri Ralstonia solanacearum yang lebih ramah lingkungan dan dapat menularkan ilmunya ke khalayak umum.


BAB II
POKOK BAHASAN

2.1 PENYAKIT LAYU BAKTERI NILAM
2.1.1 Gejala Penyakit
Di lapangan, penyakit layu bakteri nilam menyebar secara merata pada satu areal pertanaman dengan gejala daun layu dan diakhiri dengan kematian tanaman dalam waktu singkat. Gejala awal serangan penyakit berupa salah satu daun pucuk layu dan diikuti dengan daun bagian bawah. Setelah terlihat gejala lanjut dengan intensitas serangan di atas 50%, tanaman akan mati dalam waktu 7−25 hari. Pada serangan lanjut, akar dan pangkal batang membusuk dan terlihat adanya massa bakteri berwarna kuning keputihan seperti susu. Bentuk gejala ini merupakan ciri khas dari serangan patogen penyebab penyakit layu bakteri (Nasrun, 2005) (Gambar 1).

Gambar 1. Gejala penyakit layu bakteri nilam; (a) penyebaran gejala penyakit di lapangan, (b) gejala penyakit pada satu daun pucuk dan diikuti dengan daun bagian bawah, (c) akar nilam terinfeksi bakteri patogen, Rs adalah massa bakteri berwarna putih susu.
(Anonymous, 2010)


Bila potongan batang nilam yang terinfeksi direndam di dalam air maka akan terlihat aliran massa bakteri patogen. Hasil pengamatan pada sayatan tipis batang tersebut secara mikroskopis menunjukkan adanya massa bakteri patogen yang keluar dari jaringan pembuluh kayu. Melalui metode ini dapat diketahui secara pasti bahwa nilam yang bergejala layu tersebut telah terinfeksi oleh bakteri patogen pembuluh kayu. Metode ini merupakan karakterisasi awal secara makroskopis dan mikroskopis serangan bakteri patogen pembuluh kayu (Nasrun 2005).

2.1.2 Sifat-sifat Bakteri Patogen
Pada medium Yeast Peptone Agar (YPA), bakteri patogen berbentuk koloni tidak teratur, berwarna putih dan fluidal yang merupakan ciri khas koloni R. Solanacearum (Sitepu dan Asman 1989; Radhakrishan et al. 1997; Supriadi et al. 2000; Nasrun 2005). Bakteri patogen mempunyai daya virulensi yang berbeda-beda dengan masa inkubasi 14,60−39,30 hari setelah inokulasi (Nasrun 2005).
Bakteri R. solanacearum mempunyai reaksi negatif terhadap hidrolisis pati, gelatin, arginin dan produksi levan, dan bereaksi positif terhadap uji katalase, oksidase, akumulasi PHB, dan denitrifikasi. Isolat bakteri patogen dapat tumbuh pada NaCl 0−2% dengan pH 4−8,50 dan suhu 13−37oC, tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 41oC. Jika bakteri ditumbuhkan pada medium YPA ditambah tetrazolium salt dan diinkubasi selama 24 jam maka akan terlihat koloni berwarna putih, fluidal dengan pusat koloni berwarna merah jambu (Nasrun 2005) (Gambar 2). Tipe koloni ini merupakan koloni R. solanacearum virulen (Hayward 1994).

Gambar 2 Koloni R. solanacearum di dalam cawan petri
(Anonymous, 2010)

Dari pengecatan negatif dan setelah diuji dengan HCl terlihat bakteri berbentuk batang dan bersifat gram negatif. Berdasarkan karakterisasi bakteri patogen dengan berpedoman pada sifat-sifat bakteri dan bentuk koloni bakteri dengan mengacu pada metode Hayward (1976) dan Denny dan Hayward (2001), diketahui bahwa bakteri patogen penyebab penyakit layu bakteri pada nilam adalah R. solanacearum(Gambar 3).

Gambar 3 Mikrografi bakteria R. solanacearum
(Anonymous, 2010)
Adapun klasifikasi bakteri Ralstonia solanacearum, adalah :
Kerajaan : Prokariotik
Divisi : Gracilicutes
Kelas : Schizomycetes
Suku : Eubacteriales
Keluarga : Pseudomonadaceae
Marga : Ralstonia
Jenis : Ralstonia solanacearum
R. solanacearum dapat menggunakan sumber karbon dari dektrosa, manitol, sorbitol, dulsitol, trehalosa, laktosa, maltosa dan selobiosa, yang berarti bakteri ini termasuk biovar III (Hayward 1964; Denny dan Hayward 2001). Hasil uji patogenisitas pada berbagai jenis tanaman menunjukkan bahwa isolat R. solanacearum dapat menginfeksi tomat, cabai, terung, dan tembakau dengan memperlihatkan gejala layu. Sebaliknya R. solanacearum tidak menginfeksi kacang tanah lokal, jahe, pisang emas, pisang cavendish, dan heliconia (Nasrun 2005). Hasil uji kisaran inang ini menunjukkan bahwa R. Solanacearum dapat menyerang tanaman kelompok Solanaceae, dan bakteri ini termasuk ke dalam ras 1 (Buddenhagen et al. 1962 dalam Hayward 1964).

2.1.3 Penyebaran Bakteri Patogen
R. solanacearum merupakan patogen tular tanah dan dapat menyebar dengan mudah melalui bahan tanaman, alat pertanian, dan tanaman inang (Sitepu dan Mogi 1996). Kemampuan bakteri tanah bertahan hidup diduga sangat bergantung pada keberadaan tanaman inang. Supriadi et al. (1995) menemukan berbagai tanaman inang R. solanacearum dari berbagai lokasi di Indonesia. Isolat-isolat yang diperoleh dari tanaman inang tersebut bervariasi dalam hal biovar dan patogenisitasnya. Strain patogen yang spesifik pada tanaman inang terdapat pada lahan tertentu. Hal tersebut berkaitan dengan faktor lingkungan, baik faktor abiotik seperti suhu, tipe tanah, dan curah hujan maupun faktor biotik, sebagai contoh keberadaan nematoda dapat memperparah serangan penyakit layu bakteri pada beberapa jenis tanaman (Hayward 1994) termasuk nilam, karena nilam merupakan salah satu tanaman inang bagi nematoda (Mustika dan Nuryani 1993; Mustika 1996).

2.2 PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT LAYU BAKTERI NILAM
Pengendalian hayati merupakan alternatif pengendalian penyakit layu pada nilam. Bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit tanaman (Campbell 1989).
Pseudomonas fluoresen dapat menekan perkembangan penyakit layu bakteri jahe (Mulya et al., 2000) yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Pseudomonas fluorescens WCS 374 dari kelompok Pseudomonas fluoresen mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman radish melalui induksi ketahanan sistemik dengan menghasilkan asam salisilat pada kondisi Fe rendah (Press et al., 2001). Begitu juga Pseudomonas fluorescens strain A 506 dapat mengendalikan penyakit bacterial speck yang disebabkan bakteri Pseudomonas syringae pv. tomato pada tanaman tomat sampai 78% (Wilson et al., 2002 ) dan penyakit fire blight disebabkan oleh Erwinia amylovora pada tanaman pear dan apel sampai 50-80% dalam waktu 24 hari setelah aplikasi (Lindow dan Suslow, 2003). Selanjutnya Pseudomonas fluoresen dapat mengendalikan penyakit Lincat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tembakau (Heru, 2006).
Dari hasil pengujian Pseudomonas fluoresen yang berasal dari rizosfer nilam, diperoleh beberapa isolat Pseudomonas fluoresen yang dapat menekan pertumbuhan R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri pada nilam (Nasrun et al., 2004 dan Nasrun et al., 2005).
Begitu pula dengan Bacillus spp. (seperti Bacillus subtillis) dapat mengendalikan penyakit layu bakteri pada kentang dan meningkatkan hasil umbi kentang sampai 160% (Sunaina et al., 2003). B. subtillis pada biji tomat dapat mengendalikan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solancearum (Karuna et al., 2003). Selanjutnya Bacillus spp. dapat mengendalikan penyakit lincat disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman tembakau (Heru, 2006).
Pemanfaatan kombinasi antagonis dalam pengendalian penyakit tanaman merupakan langkah perbaikan pendekatan pengendalian hayati. Kombinasi antagonis ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan antagonis tingkat perlindungan yang lebih tinggi, karena dapat mengurangi variabilitas antagonis (Guetsky et al., 2001) dan mempunyai kemampuan penekanan patogen secara mekanisme terpadu dari setiap antagonis (Jetiyanon dan Kloepper, 2002 dalam Boer et al., 2003). Seperti Pseudomonas fluorescens dan Bacillus pumilis dapat mengendalikan Botrytis cinerea pada stroberi yang menghasilkan senyawa volatile dengan pengaruh fungistatik (Guetsky et al., 2002).
Dari mekanisme antagonistik terlihat Pseudomonas fluoresen lebih cenderung menggunakan kemampuan kolonisasi akar dan produksi siderofor dan asam sianida, disamping antibiotik yang begitu rendah. Sebaliknya Bacillus spp mempunyai mekanisme antagonistik lebih cenderung dengan kemampuan produksi antibiotik (Campbell, 1989), sehingga dalam hal ini untuk meningkatkan kemampuan kedua antagonis tersebut sebaiknya dilakukan kombinasi mekanisme antagonistik kedua agens hayati tersebut.
Dari hasil penelitian pemanfaatan kombinasi agens hayati Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. Diharapkan dapat meningkatkan efikasi mekanisme pengendalian hayati kedua agens tersebut terhadap penyakit layu bakteri nilam. Melalui penelitian pengujian tersebut akan didapatkan kombinasi agen hayati yang dapat mengendalikan penyakit layu bakteri nilam secara efektif dan efisien sehingga diharapkan masalah penyakit layu bakteri nilam dapat diatasi dan produksi nilam dapat ditingkatkan secara maksimal.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Perkembangan Penyakit Layu Bakteri
Tanaman nilam yang diperlakukan dengan isolat Bacillus spp. (Bc 26, Bc 80, dan Bc 81) dan isolate Pseudomonas fluoresen (Pf 101, Pf 146, Pf 170) dalam bentuk kombinasi (1 : 1) ditanam pada kebun yang telah terinfeksi oleh bakteri patogen (Ralstonia solanacearum), menunjukkan bahwa kombinasi strain Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 mempunyai kemampuan paling tinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri nilam. Hal ini jelas terlihat sampai pengamatan terakhir (63 Hari Setelah Tanam ”HST”) bahwa tanaman baru menunjukkan gejala daun layu sebagai gejala penyakit (Tabel 1). Sebaliknya nilam, yang tidak diperlakukan dengan strain Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen (kontrol), pada masa inkubasi 21 HST telah menunjukkan gejala daun layu. Dalam hal ini bahwa kombinasi Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 mampu menahan muncul gejala penyakit (Tabel 1). Selanjutnya kombinasi strain Bacillus spp. Bc 80 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 dapat menunda munculnya gejala penyakit dari 21 HST menjadi 56 HST, dan kombinasi strain Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonas fluoresen Pf 146 serta Bacillus spp. Bc 81 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 dari 21 HST menjadi 49 HST. Sebaliknya kombinasi strain Bacillus spp Bc 81 dan Pseudomonas fluoresen Pf 170 tidak mampu menekan perkembangan penyakit dengan penundaan dari 21 HST menjadi 28 HST.

Tabel 1. Pengaruh Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen terhadap masa inkubasi gejala penyakit layu bakteri pada nilam di lapang
Bacillus spp. (Bc) dan Pseudomonas fluoresen (Pf) Masa inkubasi gejala penyakit (HST)
Bc 26 + Pf 101 63 c
Bc 26 + Pf 146 49 bc
Bc 26 + Pf 170 35 ab
Bc 80 + Pf 101 56 c
Bc 80 + Pf 146 42 b
Bc 80 + Pf 170 35 ab
Bc 81 + Pf 101 49 b
Bc 81 + Pf 146 35 ab
Bc 81 + Pf 170 28 a
Bc 26 41 b
Bc 80 29 a
Bc 81 24 a
Pf 101 58 c
Pf 146 33 ab
Pf 170 26 a
Kontrol 21 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada p =0,05

Pemberian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara terpisah menunjukkan penundaan gejala penyakit lebih cepat dibandingkan pemberian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara kombinasi. Pemberian Pseudomonas fluoresen Pf 101 secara terpisah mampu menunda muncul gejala penyakit lebih lama yaitu dari 21 HST menjadi 58 HST dibandingkan agen hayati lainnya. Selanjutnya diikuti oleh Bacillus spp. Bc 26 dengan masa penundaan gejala penyakit dari 21 HST menjadi 41HST. Sebaliknya Pseudomonas fluoresen Pf 146 dan Pf 170 serta Bacillus spp. Bc 80 dan Bc 81 kurang mampu menekan perkembangan penyakit setelah dibandingkan dengan kontrol. Dalam hal ini jelas terlihat pemberian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara kombinasi menunjukkan penundaan gejala penyakit lebih lama dibandingkan dengan pemberian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara terpisah. Berarti antara Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen terjadi interaksi dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri nilam. Pada akhir pengamatan (63 HST), kombinasi strain Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 terlihat mampu menekan perkembangan penyakit secara nyata lebih besar dibandingkan strain lainnya dengan penekanan intensitas penyakit yaitu dari 63,90% menjadi
8,57%. Sebaliknya kombinasi strain Bacillus spp. Bc 81 dan Pseudomonas fluoresen Pf 170 kurang mampu menekan perkembangan penyakit (dengan intensitas penyakit yang tinggi 61,10%) dan tidak berbeda nyata dengan nilam tanpa perlakuan (63,90%).
Pemberian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara terpisah memperlihatkan penekanan intensitas penyakit lebih rendah yaitu 63,90% menjadi 28,57-60,47% dibandingkan dengan pemberian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara bersamaan. Pemberian Pseudomonas fluoresen Pf 101 secara terpisah mampu menekan intensitas penyakit lebih besar dibandingkan dengan agen hayati lainnya secara terpisah yaitu dari 63,90% menjadi 28,57% dan diikuti oleh Bacillus spp. Bc 26 yaitu dari 63,90% menjadi 30,33%. Sebaliknya Bacillus spp. Bc 81 dan Pseudomonas fluoresen Pf 170 secara terpisah tidak memperlihatkan adanya penekanan intensitas penyakit. Dalam hal ini terlihat adanya interaksi positif antara Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri nilam.
Kemampuan antagonistik kedua strain tersebut dalam menekan perkembangan penyakit dapat dihubungkan dengan mekanisme penghambatan oleh senyawa antibiosis, seperti antibiotik yang dihasilkan kedua strain tersebut (Campbell, 1989). Selanjutnya menurut (Sastrosuwignyo, 1988) bahwa Bacillus spp. dapat menghasilkan antibiotik polipeptida-subtilin, gramisidin, bacitracin, polimiksin, fitoaktin dan bulbiformin. Begitu pula dengan strain Pseudomonas fluoresen juga dapat menghasilkan antibiotik seperti Pseudomonas fluorescens CHAO dapat menghasilkan antibiotik pyoluteorin (Plt) dan 2-4-diacetyl phyloroglucinol (Phl) yang dapat menghambat Erwinia carotovora dan Gaeunannomyces graminis. Hal ini jelas terlihat dari hasil pengujian Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen secara in vitro pada medium PDA dapat menekan pertumbuhan Ralstonia solanacearum (Chrisnawati et al., 2006). Selanjutnya strain Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen, di samping menghasilkan antibiosis juga mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengkolonisasi akar tanaman, sehingga strain tersebut mampu berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan bakteri patogen, termasuk patogen tular tanah seperti R. solanacearum. Hal ini dikarenakan Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen mampu menggunakan berbagai substrat sebagai sumber nutrisi, dan mempunyai pertumbuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan bakteri patogen, sehingga dapat mempertahankan populasi secara optimal di akar tanaman (Campbell, 1989).
Kompetisi ruang antara Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen dengan bakteri patogen terjadi melalui pembatasan perkembangan dan penyebaran sekunder bakteri patogen oleh Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen, sehingga Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen terdistribusi secara luas sepanjang system perakaran (Weller dan Cook, 1983). Di samping itu kompetisi nutrisi juga terjadi sebagai akibat terjadinya peningkatan populasi yang tinggi dari Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen, terutama dalam menggunakan sumber karbon, nitrogen, dan Fe3+ untuk pertumbuhan dan aktivitasnya yang dapat mengakibatkan sumber nutrisi yang tersedia untuk kebutuhan patogen menjadi terbatas (Bull et al., 1991). Dalam hal ini, efektivitas Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen dalam menekan patogen ditentukan oleh kemampuannya menghasilkan antibiosis, induksi ketahanan, kompetisi, dan mengkolonisasi system perakaran dalam rentang waktu yang lama dan faktor lingkungan serta penyebaran bakteri di dalam tanah (Janisiewicz et al., 2000).

3.2. Pertumbuhan Tanaman
Nilam yang diperlakukan dengan Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen, baik secara kombinasi maupun terpisah, menunjukkan tinggi tanaman (37,23 - 64,17 cm) lebih tinggi dibandingkan nilam yang tidak diperlakukan dengan Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen (kontrol) yaitu 35,53 cm (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Bacillus spp dan Pseudomonad fluoresen terhadap pertumbuhan tanaman nilam terinfeksi penyakit layu bakteri di lapang pada 63 hari setelah tanam (HST)

Bacillus sp (Bc) dan Pseudomonas
fluoresen (Pf) Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun total (daun/
tanaman) Jumlah tunas total (tunas/tanaman)
Bc 26 + Pf 101 52,77c 104,67 e 25,33 c
Bc 26 + Pf 146 43,33 b 51,33 cd 19,33 bc
Bc 26 + Pf 170 44,17 b 42,00 c 17,67 b
Bc 80 + Pf 101 53,50 c 58,00 d 18,00 b
Bc 80 + Pf 146 39,03 ab 22,33 a 8,67 a
Bc 80 + Pf 170 37,23 a 17,33 a 5,33 a
Bc 81 + Pf 101 45,80 b 54,67 c 19,00 bc
Bc 81 + Pf 146 39,10 ab 24,67 a 11,33 b
Bc 81 + Pf 170 37,43 a 34,33 bc 10,67 ab
Bc 26 54,97 a 41,33 b 14,00 b
Bc 80 44,10 a 13,30 d 7,60 a
Bc 81 35,93 b 22,00 d 6,00 a
Pf 101 64,17 a 98,60 a 16,00 b
Pf 146 45,40 b 20,33 d 7,67 a
Pf 170 36,60 b 17,33 d 9,00 a
Kontrol 35,53 a 32,20 d 10,33 ab
Keadaan ini memperlihatkan adanya pengaruh Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen terhadap pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman nilam yang diperlakukan dengan Bacillus spp. Bc 26 dan Pseudomonas fluoresen Pf 101 secara kombinasi (52,77 cm) dan terpisah (54,97 dan 64,17 cm) tidak berbeda nyata dan lebih besar dibandingkan dengan Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen lainnya baik secara kombinasi maupun terpisah. Dalam hal ini juga terlihat tidak terjadi pengaruh interaksi antara Bacillus spp. dengan Pseudomonas fluoresen terhadap jumlah daun. Rendahnya jumlah daun total pada nilam tanpa perlakuan Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen disebabkan tingginya kematian tanaman sebagai akibat tingginya perkembangan penyakit layu pada tanaman tersebut. Adapun tanaman yang bertahan hidup menunjukkan pertumbuhan daun yang rendah dan sebagian menjadi layu. Keadaan ini memperlihatkan adanya pengaruh Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresen terhadap pertumbuhan tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman yang diperlakukan dengan Bacillus spp. dan Pseudomons fluoresen, di samping melalui penekanan penyakit, dapat juga dihubungkan dengan pengaruh tidak langsung dari aktivitas Pseudomonas fluoresen dalam menghasilkan hormone tumbuh yang dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman (Campbell, 1989). Terutama Pseudomonas fluoresen dapat berperan sebagai Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) yang berasosiasi dengan akar tanaman dapat menghasilkan hormon tumbuh di antaranya auksin, giberallin dan sitokinin (Landa et al., 2002; Vidhyasekaran, 1991 cit. Vydhyasekaran, 2004).























BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan
• Penggunaan agen pengendali hayati Pseudomonas fluoesen dan Bacillus spp. sangat efektif untuk mengendalikan bakteri Ralstonia solanocearum
• Penggunaan Bacillus spp. dan Psedumonas fluoesen apabila digunakan secara bersama-sama sangat menguntungkan karena dapat menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada nilam.
5.2. Saran
• Bagi Masyrakat
Supaya lebih selektif untuk memilih agen pengendali hayati, selain melihat dari kelebihan juga harus mempertimbangkan kelemahannya untuk jangka yang panjang.

• Bagi Mahasiswa
Supaya melakukan kajian lebih lanjut tentang agen pengendalian hayati sebelum dilepas di masyarakat, supaya dampa negatif atau kelemahan dari agen hayati yang digunakan dapat diminimalisasi





DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2010. http://agroteknologi.weebly.com/bahan-kuliah.html. Diakses tanggal 19 Juni 2010
Agrios, G.N.1988. Plant Pathology. 3th Ed. Academic Press, New York.
Asman, A. Nasrun, A. Nurawan, dan D. Sitepu. 1993.Penelitian Penyakit Nilam. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta. (2): 903- 911.
Asman, A. 1996. Penyakit Layu dan Budok Pada Tanaman Nilam dan Cara Pengendaliannya. Proceeding Integrated Control of Main Disease of Industrial Crops. RISMC and JICA. Bogor, 284-290.Buddenhagen & Kelman. 1962 dalam Hayward 1964).
Bull, C.T. D.M. Weller, and L.S. Thomashow. 1991. Relation Between Root Colonization and Suppression of Gaeumannomyces graminis var. Tritici IPseudomonas fluorescens strain 2-79. Phytophatology. (81): 954-959.
Campbell, R. 1989. Biological Control of Microbial Plant Pathogens. Cambridge University Press, Cambridge. 218.p.
Chrisnawati., T. Arwiyanto, dan Nasrun. 2006. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Nilam Menggunakan Kombinasi Bakteri Pseudomonas fluoresen dan Bacillus spp. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahap Pertama Dikti (Tidak Publikasi).
Guetsky, R., D., Shtienberg, Y. Elad, and A. Dinoor. 2001. Combining Biocontrol Agents to Reduce The Variability of Biological Control. Phytopatology. 91(43): 621-627.
Hayward, A.C. 1964. Characteristics of Pseudomonas solanacearum. J. Appl. Bacterial 27(2): 265−277.
Hayward, A.C. 1994. Systematic and phylogeny of Pseudomonas solanacearum and related bacteria. p. 123−135. In A.C. Hayward and G.L. Hartman (Eds.). Bacterial Wilt. The disease and its causative agent, Pseudomonas solanacearum. CAB International
Heru, 2006. Studi Pengendalian Hayati Penyakit Lincat Tembakau dengan Menggunakan Kombinasi Pseudomonas fluoresen, Bacillus spp. dan Streptomyces spp. Disertasi UGM, Yogyakarta.(Tidak publikasi).
Janisiewicz, W.J., T.J. Tworkoski, and Sharer, C. 2000. Characterizing The Mechanism Of Biological Control Of Postharvest Disease On Fruits With A Simple Method To Study Competition For Nutrients. Phytopathology. 90 : 1196-1200.
Karuna, K., A. N. A. Khn, and M. R. Ravikumar. 2003. Potential of Biocontrol Agents In The Management Of Bacterial Wilt Of Tomato Caused by R. solanacearum. International bacterial wilt symposium. (on-line). http://www.inra.fr/internet/deortements/PATHOV/ 2nd – IBWS/B3 html diakses 9 Mei 2003.
Landa, B.B., H.A.E. De Werd, B.B. Mc Spadden Gardener, and D.M. Weller. 2002. Comparison of Three Methods for Monitoring Populations of Different Genotypes of 2,4-diacethylphloroglucinol-producing Pseudomonas fluorescens in Rhizosphere. Phytopatholgy. 92: 129-137.
Lindow. S.E. and T.V. Suslow. 2003. Temporal Dynamics Of The Biocontrol Agent Pseudomonas Fluorescens Strain A506 In Flowers In Inoculsted Pear Trees. Phyto-pathology. 93: 727-737.
Mulya, K., Supriadi, E. M. Ardhi, Sri Rahayu, dan N. Karyani. 2000. Potensi Bakteri Antagonis Dalam Menekan Perkembangan Penyakit Layu Bakteri Jahe. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 6(2): 37-43.
Mustika, I. and Y. Nuryani. 1993. Screening For Resistance Of Four Patchouli Cultivars to Radopholus similis. J. Spice and Medicinal Crops 1(2): 11−17.
Nasrun, Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska. 2005. Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Nilam Menggunakan Pseudomonas fluoresen. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11 (1): 19-24.Persley et al., 1985
PRESS, C. M., J. E. LOPER, and J.W. KLOEPER. 2001. Role Of Iron In Rhizobacteria-Mediated Induced Systemic Resistance Of Cucumber. Phytopathology. 91 : 593-598.
Sastrosuwignyo, S. 1988. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Bagian Ilmu Penyakit Tanaman. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan . Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 153p.Sitepu dan Asman, 1989).
Sitepu, D. and S. Mogi. 1996. Practical Strategy To Control Bacterial Wilt Disease Of Ginger Crops. P. 173−180. Proc. Seminar on Integrated Control on Main Diseases of Industrial Crops, Bogor, 13−14 March 1996. Research Institute for Spice and Medicinal Crops, Bogor.
Sunaina, V., V. Kishore, and G.S. Shekhawat. 2003. Biocontrol of bacterial wilt of potato of Ralstonia solanacearum and other bacteria. (on-line). http:/ www.inra.Fr/internet/Departements/PATHOV/2 nd – IBWS/B5html diakses 9 Mei 2003.
Supriadi, K. Mulya, and D. Sitepu. 2000. Strategy for controlling wilt disease of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 19 (3):106 -111.
Weller, D.M. and R.J. Cook. 1983. Suppression of Take-all of Wheat by Seed treatments with Fluorescent pseudomonads. Phytopathology. 73: 463-469.
Wilson, M., H. L. Campbell, J.I.P. Jones, and D.A Cuppels. 2002. Biological controll of bacterial speck of tomato under field condition at several locations in North America. Phytopathology. 92: 1284-1292.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar