Sabtu, 26 Maret 2011

मनाजेमें Agroekosistem

Sejarah dan Kondisi Lahan Desa Sumberagung, Kec. Ngantang, Kabupaten Malang
Sejarah lahan
Persoalan yang selalu dialami petani lahan kering pada topografi berbukit adalah merananya tanaman semusim akibat kekurangan air di musim kemarau, sehingga pendapatan keluarga petani menurun karena kurangnya hasil dari usaha tani, seperti palawija dan sayuran. Keadaan ini pernah dialami oleh petani di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur sekitar tahun 1967-1975.
Guna memberdayakan lahan kering milik petani tersebut, pada tahun 1981 para petani di Kecamatan Ngantang mengusahakan budidaya tanaman kopi dan tanaman cengkeh dengan harapan tanaman keras ini dapat memberikan hasil pada musim kemarau setiap tahunnya. Akan tetapi setelah tanaman kopi dan tanaman cengkeh yang dibudidayakan secara monokultur ini berkembang, permasalahan yang muncul berikutnya adalah tidak stabilnya harga panen kopi dan cengkeh, di mana biaya usaha tani sepanjang tahun meningkat, sedangkan hasil tidak tentu, dan adanya serangn berat hama kutu loncat pada tanaman lamtoro ( Leucaena glauca ) pada tahun 1983/1984, sementara posisi tanaman lamtoro sangat penting sebagai penaung tanaman kopi. Selain itu, penyakit BPKC ( Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh) juga menyerang tanaman cengkeh sekitar tahun 1984 / 985.
Pada tahun 1987, salah seorang petani mencoba menanam tanaman naungan kopi selain lamtoro yakni pisang, Dengan pertimbangan pertumbuhannya cepat, mudah dipelihara, dan buahnya bisa dipanen silih berganti dari sekian banyak rumpun pisang dalam satuan luas lahan kebun.

Kondisi lahan
Desa Sumberagung yang berada pada ketinggian 650 -750 m dari permukaan laut dan berdekatan dengan bendungan Selorejo merupakan awal dari kegiatan usaha tani di lahan kering, dari satu jenis tanaman pokok seperti kopi berkembang menjadi 2 sampai dengan 3 jenis tanaman pokok yaitu pisang, sengon dan durian dengan tanaman sisipan antara lain nangka, kelapa, lada, cengkeh dan rumput kolonjono. Kondisi lahan pada tempat survey topografinya berbukit, tanahnya liat sehingga air susah masuk ke dalam tanah yang mengakibatkan banyak terdapat genangan air pada permukaan tanah, selain itu kondisi tanahnya basah dan lembab.


1. Pengambilan Mikroorganisme di Lapang
Untuk mendapatkan mikroorganisme dalam tanah dapat menggunakan metode soil sampling dengan cara sebagai berikut:
a. Tanah diambil pada setiap titik sampel dengan menggunakan cangkul atau catok dengan kedalaman ± 15 cm dengan jarak sesuai dengan kanopi tanaman.

Dalam 1 petak dibagi 5 plot titik sampel

b. Dilakukan 2 kali ulangan, yakni pada 45 hst dan pada saat panen 90 hst (tanaman musiman), untuk tanaman tahunan disesuaikan dengan kebutuhan.
c. Tanah yang sudah diambil, dimasukkan kantong plastik dan diberi label yang bertuliskan tangal pengambilan, lokasi kebun, dan nomer plot yang diambil.
d. Sampel disimpan ditempat teduh atau terhindar dari sinar matahari langsung.
2. Isolasi dari Sampel Tanah
a. Dilakukan dengan metode soil dellution plate yaitu 1 gram tanah diambil dan dilarutkan dalam 10 ml aquades steril dalam tabung reaksi kemudian dikocok sampai menjadi suspensi (sampai homogen)
b. Suspensi kemudian diambil 1 ml dengan pipet, kemudian dimasukkan tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades steril. Kegiatan ini dinamakan pengenceran, dimana dalam hal ini pengenceran dilakukan sebanyak 7 kali.
c. Hasil pengenceran kemudian diambil 1 ml lalu dituangkan dalam cawan petri yang berisi media PDA (potato dextros agar) dengan ketebalan media ½ cm.
3. Purifikasi (Pemurnian)
Pemurnian dilakukan pada setiap koloni mikroba yang dianggap berbeda berdasarkan mikroskopis yang meliputi warna dan bentuk koloni. Masing-masing mikroorganisme diambil dengan jarun N kemudian ditumbuhkan lagi pada media PDA padat.
4. Identifikasi
Jamur dan bakteri yang sudah didapat dan dimurnikan kemudian diidentifikasi menggunakan buku identifikasi yaitu Compedium Of Soil Fungi.

Pengambilan mikroba di atas tanah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Obyek glass diolesi vaselin atau balsem
b. Diletakkan sesuai dengan tinggi tanaman
c. Tunggu 1 jam, spora yang terbang akan menempel pada obyek glass
d. Obyek glass yang berisi spora diambil kemudian diamati di bawah mikroskop.

Penangkapan serangga
• Serangga tidak tebal (di tanah) memakai pitfall, menggunakan detergen/pestiaida
• Serangga malam memakai light trap, menggunakan petromax berwarna diletakkan pada baskom yang berisi detergen dan air.
• Serangga siang memakai yellow trap, feromon trap, maupun sweepnet.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel Rekapitulasi Keragaman Serangga di Lahan Kopi
No. Hasil Identifikasi Peran
Musuh Alami Hama Serangga lain
Predator Parasitoid
1 Semut (hymenoptera) 7
2 Capung (odonata) 2
3 Laba-laba (araenida) 10
4 Kumbang (coleoptera) 1
5 Kumbang (coleoptera) 1
6 Parasitoid euplectus 1
7 Ichneumonoidea 2
8 Kupu-kupu (lepidoptera) 7, polinator
9 Laron (isoptera) 1
10 Serangga ordo hemiptera 2
11 Nyamuk (diptera) 2
12 Lalat rumah (diptera) 2
13 Ulat (lepidoptera) 10
14 Wereng coklat (orthoptera) 4
15 Serangga ordo orthoptera 2
16 Serangga ordo diptera 2
17 Belalang (orthoptera) 14
18 Walang sangit 1
19 Jangkrik 2
20 ngengat 1
Jumlah 20 3 37 14


3.1 Segitiga Piktorial
Segitiga piktorial digunakan untuk menggambarkan komposisi peran dari serangga-serangga yang terdapat di dalam suatu agroekosistem. Dalam penyajian piktorial, setiap komposisi akan digambarkan/diwakili oleh satu koordinat dalam suatu tata dari tiga aksis/sumbu yang digambarkan sebagai garis tinggi dari segitiga sama sisi, yang titik sumbunya mewakili peran. Garis tinggi yang berujung pada salah satu sudut peran, misalnya sudut hama merupakan garis skala persentase hamadengan skala 0% di dasar garis dan skala 100% pada titik sudut.
Dari hasil identifikasi serangga pada agroekosistem kopi yang terletak di Desa Sumber Agung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, dapat diketahui bahwa jumlah total serangga yang berhasil didapatkan sebanyak 74 dengan rincian sebagai berikut:
• Serangga hama : 37, persentase hama : 37/74 x 100% = 50%
• Serangga musuh alami : 23, persentase musuh alami : 23/74 x 100% = 31,1%
• Serangga lain : 14, persentase serangga lain : 14/74 x 100% = 18,9%
Persentase diatas digunakan untuk menentukan posisi koordinat komposisi peran dalam segitiga piktorial.
Serangga lain\
100


koordinat 0 0



hama 100 0 100 musuh alami


Dari sajian segitiga piktorial di atas dapat disimpulkan bahwa agroekosistem kopi kurang sehat. Hal ini ditunjukkan olek letak titik koordinat yang berada lebih dekat dengan sudut hama, sementara dengan sudut musuh alami, letak titik koordinat lebih jauh, sedangkan letak titik koordinat dengan sudut serangga lain, jaraknya paling jauh. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa jumlah serangga yang berperan sebagai hama lebih banyak, dibandingkan dengan serangga yang berperan sebagai musuh alami maupun serangga lain. Kondisi ini tentu saja akan merugikan petani, apabila dibiarkan begitu saja, sehingga perlu dilakukan konservasi musuh alami dengan cara mengurangi dan menghindari penggunaan pertisida kimia beracun, menanam tanaman yang disukai musuh alami ataupun tanaman yang menjadi sarang musuh alami, dll.
3.2 Indeks Keragaman
Keanekaragaman jenis serangga dapat dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman menurut Shannon (Odum, 1993) dengan rumus yaitu:
H = - Σ Pi ln (Pi)
Pi = ni/N
Keterangan:
ni = nilai kepentingan untuk setiap jenis ( jumlah individu tiap jenis)
N = nilai kepentingan total ( jumlah semua individu tiap jenis)
Pi = persentase individu
Krebs (1989) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman H terdiri dari beberapa kriteria yaitu:
H > 3 → menunjukkan keanekaragaman sangat tinggi
1< H < 3 → menunjukkan keanekaragaman sedang
H < 1 → menunjukkan keanekaragaman rendah

Tabel keragaman spesies
Spesies n Pi Pi ln (Pi)
Semut (hymenoptera) 7 0,09 - 0,22
Capung (odonata) 2 0,03 - 0,10
Laba-laba (araenida) 10 0,13 - 0,26
Kumbang (coleoptera) 2 0,03 - 0,10
Parasitoid euplectus 1 0,01 - 0,05
Ichneumonoidea 2 0,03 - 0,10
Kupu-kupu (lepidoptera) 7 0,09 - 0,22
Laron (isoptera) 1 0,01 - 0,05
Serangga ordo hemiptera 2 0,03 - 0,10
Nyamuk (diptera) 2 0,03 - 0,10
Lalat rumah (diptera) 2 0,03 - 0,10
Ulat (lepidoptera) 10 0,13 - 0,26
Wereng coklat (orthoptera) 4 0,06 - 0,17
Serangga ordo orthoptera 2 0,03 - 0,10
Serangga ordo diptera 2 0,03 - 0,10
Belalang (orthoptera) 14 0,19 - 0.31
Walang sangit 1 0,01 - 0,05
Jangkrik 2 0,03 - 0,10
ngengat 1 0,01 - 0,05
Total individu (N) 74 - 2,54
Kekayaan spesies 19
Indeks keragaman 2,54


Hasil dari tabel di atas menunjukkan bahwa indeks keragaman serangga yang terdapat pada agroekosistem kopi sebesar 2,54. Berdasarkan kriteria penggolongan indeks keragaman (Krebs, 1989), nilai 2,54 masuk dalam kategori sedang serta mengarah ke baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai yang mendekati 3, serta dari segi jumlah hama yang sedikit lebih banyak dibanding dengan jumlah musuh alami maupun serangga lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar